MAKALAH
“ WANITA YANG HARAM UNTUK DI NIKAHI “
PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
ANDRI
RUSWANDI
Jl. Surya Kencana No.1 Pamulang, Tangerang selatan, Banten
Telp/Fax (021) 7412 566
E-mail : Info@unpam.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Perkawinan adalah untuk membina
rumah tangga yang harmonis dan bahagia. Ada wanita-wanita yang haram dinikahi.
Larangan tersebut tentu akan membawa akibat menyengsarakan hidup rumah tangga.
“dan
diharamkan bagi kamumengawininya wanita yng bersuami9, kecuali budak-budak yang
kamu miliki ( allah telah menerangkan hokum itu) sebagai tetapanya atas kamu.
Dan dihalalkan bagi kamu untuk yang demikian(yaitu) mencari istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-iastri yang telah kamu
nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna) . sebagai suatu kewajiban, dan tidaklah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa: 24)
Hadits di atas mungkin dapat
mewakili apa yang akan kita bahas kali ini,
2.
RUMUSAN MASALAH
Dalam
hal pembahasan kali ini, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut”
2.1. Apa pengertian Mahram itu?
2.2. Bagaimanakah pembagian mahram
menurut islam itu?
2.3. Apa hukumnya menikahi wanita
yang pernah berzina?
3.
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan di tulisnya makalah
ini yaitu,
v Agar mahasiswa memahami arti dari mahram itu sendiri
v Agar mahasiswa memahami siapa sajakah wanita yang
haran dan yang halal untuk dinikahi dalan islam.
v Agar mahasiswa mengetahui hukum menikahi wanita yang
pernah berzina
4. MANFAAT
PENULISAN
Penyusunan berharap makalah ini mampu
menambah wawasan pembaca mengenai siapa sajakah kriteria wanita yang halal dan
yang haram untuk di nikahi dalam islam, yang nantinya mampu menambah wawasan
para pembaca
BAB II
WANITA YANG HARAM UNTUK DINIKAHI
2.1
Mahram
2.1.1.
Pengertian Mahram
Mahram adalah sebuah istilah yang
berarti wanita yang haram dinikahi.
Mahram berasal dari makna haram,
yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi
seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan
langsung dan tidak langsung. Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti
akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung
adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang
punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih
dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu
wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu,
Buhda.
Kebolehan melihat sebagian dari
aurat wanita mahram,seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.Sedangkan hubungan
mahram yang selain itu adalah sekedar haram untuk dinikahi, tetapi tidak
membuat halalnya berkhalwat, bepergian berdua atau melihat sebagian dari
auratnya. Hubungan mahram ini adalah hubungan mahram yang bersifat sementara
saja.
2.1.2.
Mahram Dalam Surat An-Nisa
Allah SWT telah berfirman dalam
surat An-Nisa :
“Diharamkan
atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang
laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu
isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
,maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ;
dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang “.(QS. An-Nisa : 23)
Dari ayat ini dapat kita rinci ada
beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi
orang yang bolehmelihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah:
a)
Ibu kandung
b)
Anak-anakmu yang perempuan
c)
Saudara-saudaramu yang perempuan,
d)
Saudara-saudara bapakmu yang
perempuan
e)
Saudara-saudara ibumu yang perempuan
f)
Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki
g)
Anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan
h)
Ibu-ibumu yang menyusui kamu
i)
Saudara perempuan sepersusuan
j)
Ibu-ibu isterimu
k)
Anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
l)
Isteri-isteri anak kandungmu
2.2.
Pembagian Mahram Sesuai Klasifikasi
Para Ulama
Tentang siapa saja yang menjadi
mahram, para ulamamembaginya menjadi dua klasifikasi besar. Pertama mahramyang
bersifat abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terusmelekat selamanya antara
laki-laki dan perempuan, apa punyang terjadi antara keduanya. Kedua mahram yang
bersifatsementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubahmenjadi tidak
mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentuyang terkait dengan syariah yang
terjadi.
2.2.1.
Mahram Yang Bersifat
Abadi
Para ulama membagi mahram yang
bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena
sebabhubungan nasab, karena hubungan pernikahan (perbesanandan karena hubungan
akibat persusuan.
2.2.1.1. Mahram Karena Nasab
a)
Ibu kandung dan seterusnya keatas
seperti nenek, ibunyanenek.
b)
Anak wanita dan seteresnya ke bawah
seperti anak perempuannya anak perempuan.
c)
Saudara kandung wanita.
d)
Ammat / Bibi (saudara wanita ayah).
e)
Khaalaat / Bibi (saudara wanita
ibu).
f)
Banatul Akh / Anak wanita dari
saudara laki-laki.
g)
Banatul Ukht / anak wnaita dari
saudara wanita.
2.2.1.2. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab
Pernikahan
a)
Ibu dari istri (mertua wanita).
b)
Anak wanita dari istri (anak tiri).
c)
Istri dari anak laki-laki (menantu
peremuan).
d)
Istri dari ayah (ibu tiri).
2.2.1.3. Mahram Karena Penyusuan
a)
Ibu yang menyusui.
b)
Ibu dari wanita yang menyusui
(nenek).
c)
Ibu dari suami yang istrinya
menyusuinya (nenek juga).
d)
Anak wanita dari ibu yang menyusui
(saudara wanitasesusuan).
e)
Saudara wanita dari suami wanita
yang menyusui.
f)
Saudara wanita dari ibu yang
menyusui.
2.2.2.
Mahram Yang Bersifat Sementara
Kemahraman ini bersifat sementara,
bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi
bolehmenikahinya. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram
dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
1)
Istri orang lain, tidak boleh
dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi.
2)
Saudara ipar, atau saudara wanita
dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau
melihatsebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dariistri. Namun
bila hubungan suami istri dengan saudara dariipar itu sudah selesai, baik
karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi
menjadi bolehdinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri.
3)
Wanita yang masih dalam masa Iddah,
yaitu masamenunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begituselesai
masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
4)
Istri yang telah ditalak tiga, untuk
sementara haramdinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah
diamenikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikansuami barunya itu,
maka halal dinikahi kembali asalkan telahselesai iddahnya dan posisi suaminya
bukan sebagai muhallilbelaka.
5)
Menikah dalam
keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam
keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau
menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnyaselesai, maka boleh dinikahi.
6)
Menikahi
wanita budak padahal mampu menikahi wanita
merdeka. Namun ketika tidak mampu
menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.
7)
Menikahi wanita pezina. Dalam hal
ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu
sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya.
8)
Menikahi istri
yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan
cara dilaknat.
9)
Menikahi
wanita non muslim yang bukan kitabiyah
atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama
ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.Bentuk
kemahraman yang ini semata-mata mengharamkanpernikahan saja, tapi tidak membuat
seseorang boleh melihataurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram
yang bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semuaitu hanyalah
bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
Selain yang disebutkan ini halal
dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-wanita yang tidak
boleh dinikahi.
Artinya :
“Dan,
dihalalkan bagi kalian selain yang demikian". (An-Nisa : 24)
Dalam dua hadits berikut dalam bab
ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.
Artinya :
Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan
Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata,
"Wahai
Rasulullah, nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah
engkau menyukai hal itu?" Dia menjawab, "Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku menyukai
orang-orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan, yaitu saudariku
sendiri". Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu tidak
diperbolehkan bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu
Salamah". Beliau betanya, "Putri
Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya".
Beliau bersabda, "Sekiranya dia
bukan anak tiriku yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal
bagiku. Dia juga putri saudara sesusuanku karena aku dan Abu Salamah sama-sama
menyusu kepada Tsuwaibah. Karena itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku
putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara wanita kalian".
Urwah berkata, "Tsuwaibah
adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu dia menyusui
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika Abu Lahab hendak meninggal,
sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah. Dia bertanya, "Apa yang engkau temukan ?"
Abu Lahab menjawab, "Aku tidak
menemukan kebaikan sesudah kalian. Hanya saja aku pernah disusui budak yang
kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".
2.3.
Hukum Menikahi Wanita Yang Pernah
Berzina
2.3.1.
Pendapat yang Menghalalkan
“Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min”. (QS. An-Nur : 3).
Pendapat mayoritas ulama
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa
yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita
yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina
sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?
Para fuqaha memiliki 3 alasan dalam
hal ini.
a.
Dalam hal ini mereka mengatakan
bahwa lafaz `hurrima`atau diharamkan
di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
b.
Selain itu mereka beralasan bahwa
kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat
itu diturunkan. Yaitu seorang yang bernama Mirtsad Al-ghanawi
yang menikahi wanita pezina.
c.
Mereka mengatakan bahwa ayat itu
telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas lagi Maha Mengetahui”.(QS.
An-Nur : 32)
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar
As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka
membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah
berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. Pendapat mereka
ini dikuatkan dengan hadits berikut :
“Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah
SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita
dan berniat untuk menikahinya, lalu
beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor
dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal”. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).
Juga dengan hadits berikut ini :
“Seseorang bertanya kepada
Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau
menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau
begitu mut`ahilah dia”. (HR.
AbuDaud dan An-Nasa`i)
Nabi SAW bersabda,
"Janganlah disetubuhi
(dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan”. (HR. Abu Daud dandishahihkan oleh Al-Hakim).
Nabi SAW bersabda,
"Tidak halal bagi seorang
muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya
pada tanaman orang lain”.
(HR. Abu Daud dan Tirmizy).
Lebih detail tentang halalnya
menikahi wanita yang pernah melakukan zina sebelumnya, simaklah pendapat para
ulama berikut ini :
a.
Pendapat Imam
Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang
menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya
boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya,
maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
b.
Pendapat Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki
yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali
setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad
menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa
zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah
dengan siapa pun. Demikian disebutkan didalam kitab”. (Al-Majmu' Syarah
Al-Muhazzab) karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
c.
Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Adapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa
baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan
menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab”. (Al-Muhazzab) karya Abu Ishaq
Asy-Syairazi juzII halaman 43.
d.
Undang-undang
Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no.
1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan
keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut
:
a)
Seorang wanita hamil di luar nikah,
dpat dikawinkandengan pria yang menghamilinya
b)
Perkawinan dengan wanita hamil yang
disebut pada ayat(1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulukelahiran
anaknya.
c)
Dengan dilangsungkannya perkawinan
pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca buku :
Kompilasi Hukum Islam halaman 92 .
2.3.2.
Pendapat Yang Mengharamkan
Meski demkikian, memang ada juga
pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah
berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi
Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang
laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu
juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia
diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina). Bahkan
Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah
pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami.
Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur :
3).
Selain itu mereka juga berdalil
dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya
serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa
Rasulullah SAW bersbda, “Tidakakan masuk
surga suami yang dayyuts”. (HR. Abu Daud)
2.3.3.
Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat
Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita
yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka
nikahnya tidak syah. Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan
bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Danbila mereka menikah,
maka nikahnya syah secara syar`i. Nampaknya pendapat ini agak menengah dan
sesuai dengan asas prikemanusiaan. Karena seseroang yang sudah bertaubat berhak
untuk bisa hidup normal dan mendapatkan pasangan yang baik.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pembahasan mengenai “Wanita Yang Haram Untuk Dinikahi”. Dapat disimpulkan beberapa
hal, sebagai berikut,
Wanita yang Haram Untuk Dinikahi,
Diantaranya:
v Ibu kandung
v Anak-anakmu yang perempuan
v Saudara-saudaramu yang perempuan,
v Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
v Saudara-saudara ibumu yang perempuan
v Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
v Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan
v Ibu-ibumu yang menyusui kamu
v Saudara perempuan sepersusuan
v Ibu-ibu isterimu
v Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri,
v Isteri-isteri anak kandungmu
Wanita yang Haram Untuk Dinikahi
yang sifatnya abadi:
v Mahram Karena Nasab
v Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab
Pernikahan
v Mahram Karena Penyusuan
Wanita yang Haram Untuk Dinikahi
yang sifatnya sementara:
v Istri orang lain
v Saudara ipar
v Wanita yang masih dalam masa Iddah,
v Istri yang telah di talak tiga
v Menikah dalam
keadaan Ihram
v Menikahi
wanita budak padahal
mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak
v Menikahi wanita pezina.
v Menikahi istri
yang telah dili`an
v Menikahi
wanita non muslim
Pendapat yang menghalalkan Mahram
(wanita yang haram dinikahi)
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita
yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis
masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut
harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka
dia masih boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan didalam kitab”.
(Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab) karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman
253.
Pendapat yang mengharamkan
Aisyah ra, Ali bin Abi
Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud
Mereka mengatakan bahwa seorang
laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu
juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia
diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bukan pezina). Bahkan
Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah
pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami.
Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur :
32).
PENUTUP
Alhamdulillahirobbil
alamin, puji syukur saya panjatkan kehadirat Ilahi rabbi karena berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar,
semoga tugas-tugas yang saya penuhi dan khususnya makalah tentang “Wanita
Yang Haram Untuk Dinikahi”. ini dapat di terima oleh Bapak dan semuanya
sesuai dengan apa yang Bapak harapkan. Semoga bermanfaat terutana bagi para
pembaca, Amin..
DAFTAR PUSTAKA
v Al-Qur’an
(Surat An-Nisa Ayat 24), (Surat An-Nur Ayat 3 & 32)
v MasBied.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar